Selasa, 09 Desember 2014


                Ngeblog lagi nih...
Kali ini aku nulis cerpen yang inspiratif buat aku sendiri khususnya. Karena emang lagi butuh inspirasi banget nih. Eitss bagi yang mau baca cerpenku ini ada syaratnya. Gampang kok ,gak bakalan disuruh bawain Ravi Murdianto buat aku hehe. Tau banget ngefans sama kak Ravi. Syaratnya sebelum baca harus bayangin kalau kamu dalam posisinya si pemeran utama. Dan berjanjilah dalam hati untuk pantang menyerah untuk menebus impianmu.
Oh ya cerpen ini aku persembahkan buat para sang pemimpi dan temen-temen yang lagi berjuang untuk jadi football player dan buat temen-temen di kelasku yang suka bola buat Mama, Cimin and Ida makasih buat ide-idenya teman.

Selamat membaca J


Lapangan Impian THE SERIES
SERIES 1
                Langit Bogor sore ini tak secerah langit kemarin. Sama seperti suasana hati Ali sore ini. Bagaimana tidak ia terancam dikeluarkan dari SSB karena sudah tiga bulan ia tidak membayar uang bulanan. Ayahnya hanyalah seorang  kuli serabutan yang sehari-hari  paling banyak mendapatkan 50.000,00. Ayahnya seorang mantan pemain PERSITER kota Ternate. Ayahnya lah yang dari awal mendukung Ali untuk menjadi pemain sepakbola, karena impian masa mudanya yang gagal menjadi pemain Tim Nasional dan bermain di lapangan Gelora Bung Karno. Betapa Ali selama ini berjuang bermain sepakbola mati-matian untuk menebus impian ayahnya, namun baru diawal ia harus terhalang oleh dana. Tanpa terasa setetes air mata mengalir di pipi Ali. Beberapa kali ia mencium baju bola bernomor punggung tujuh tertera dibelakangnya Agus Albaar, nama ayahnya. Ayahnya berharap kelak Ali dapat bermain di stadion Gelora Bung Karno dan memakai nomor punggung tujuh dan tertulis nama Ali Albaar anak seorang mantan pemain PERSITER Ternate yang cidera dalam pertandingan pertama Indonesia Super League atau ISL sehingga gagal menjadi pemain Tim Nasional.
                Dengan wajah yang kusam Ali pulang kerumahnya. Sekelebat terpancar senyum getir diwajahnya. Ia tersenyum melihat keindahan desanya yang hijau dan sejuk. Namun hidup di desa yang sesubur itu sangatlah keras. Ia harus bekerja serabutan seperti ayahnya demi menutupi kekurangan uang yang diberikan oleh ayahnya untuk membayar bulanan SSB.
*******



Di ruang makan
“ Li, kok nasinya dari tadi Cuma diaduk-aduk. Di makan toh”, celetuk ibu menyedarkan Ali dari lamunannya. “ Ada apa Li, kalo ada masalah mbokyo cerita le sama bapak sama ibu siapa tau kami bisa bantu kamu “. “ Gak ada apa-apa kok”. Tanpa berkata apa-apa lagi Ali pergi ke kamarnya.
“ Kak Ali ini Anya, buka pintunya kak”
“ minta bantuin ibu aja An PR nya kakak lagi gak enak badan”
“ Anya gak minta dibantuin PR nya kok, Anya cuma mau ngasih kakak sesuatu, buka dong pintunya”
Tak lama kemudian pintu terbuka. Anya langsung menghambur ke kasur Ali.
                “ Mana sesuatunya”, tagih Ali pada adiknya
                “ Tara!!! ini kak”
                “ Gambarnya bagus”
                “ Itu buat kakak, itu gambar kakak lagi pegang bola. Anya pingin kakak jadi pemain sepakbola terkenal biar kakak punya duit banyak biar ibu sama bapak gak kerja terus buat kita, biar Anya gak dihina temen-temen di sekolah”
Ali tak kuasa menahan haru tentang ungkapan kepolosan adiknya. Ia langsung memeluk Anya dan mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang.
                “ Kak Ali pasti jadi pemain sepakbola yang hebat, nanti kak Ali bisa bawa Anya, ibu, ayah nonton kakak di Jakarta di stadion Gelora Bung Karno”.
                “ Beneran yak kak, Anya pengen banget liat kakak main bola”
                  Emang kapan kak Ali pernah bohong?, yaudah sekarag Anya belajar sana, udah kelas enam gak boleh main-main lagi ya”
********
Di teras
“ Bu Ali berangkat sekolah ya”
“ Sekolah yang bener kamu udah kelas tiga biar nilainya bagus nanti bisa masuk SMA yang bagus besar nanti jadi sarjana pertanian”
“ Insyaallah bu, bapak dimana ya bu?”, tanya Ali sambil menoleh kanan kiri karena di pagi hari biasanya ayahnya sedang menyiram sayuran yang ada di pekarangan rumah.
“ Bapakmu udah berangkat nguli di kebun teh, ibu tadi sempet ngelarang soalnya bapakmu belom sarapan. Tapi katanya nanti bayaranya kurang jadi mau gimana lagi”
“ Gitu ya bu, yaudah ali berangkat ya?”
“ Tunggu nak. Apa kamu yakin mau jadi pemain sepakbola.Bapakmu dulu hampir putus kakinya gara-gara main bola. Ibu gak mau itu terulang sama kamu. Ibu mau masa depan kamu cerah gak seperti bapakmu.  Kamu gak kasian bapakmu pontang panting banting tulang buat bayarin uang bulanan kamu di SSB Bintang Bola itu. Bapakmu kerja pagi karena tau kamu tadi malam murung karena uang SSB udah nunggak tiga bulan kan?”. Tanpa menghiraukan ibunya Ali mengambil sepedanya yang usang dan melesat ke jalanan desa.
Mendengar permintaan ibunya untuk berhenti bermain bola batin Ali semakin tertekan. Keinginanya untuk menjadi pemain Tim Nasional membuat dia tak gentar apapun tantangan yang menghalangi mimpinya. Dari mulai hinaan teman-teman satu SSB karena Ali tak mampu membeli sepatu mahal yang bagus dan hanya mampu mengenakan sepatu usang yang dibelikan ayahnya di loakan sampai harus berjalan kaki sendirian menyusuri sawah ladang menuju tempat latihan yang sangat jauh dari rumahnya saat sepedanya rusak karena tak mampu memperbaiki dan tidak ada uang untuk ke bengkel. Namun kali ini Ali benar-benar merasa muak dengan keadaan dan ingin berhenti sampai disini. Ia tak ingin mempertaruhkan ayahnya untuk menebus impian mereka bermain di Gelora Bung Karno mimpi yang sederhana namun membutuhakan perjuangan yang wah.
Dan bagaimana kelanjutanya...apakah Ali akan berhenti sampai disini atau tetap maju untuk menebus impiannya bermain di lapangan impian??
Tunggu kelanjutannya di Series 2

               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar